Sudah 2019 ternyata. Dan semua orang berbincang mengenai resolusi-resolusi yang akan dilakukannya di tahun 2019. Bahkan entah, banyak guyonan yang bilang mengenai, "resolusi 2018 saja tidak pernah dilakukan, kok banyak gaya mau bikin resolusi 2019". dan guyonan itu tidak ada salahnya juga, akupun tak pernah mempunyai resolusi. Bahkan dari lahirpun tak pernah punya resolusi. Hidupku ya begini-begini saja. Lakoni wae karo ngopi rokokan. Begitulah kira-kira. hehehe. Tidak ada salahnya juga tak mempunyai resolusi. Bahkan aku percaya ada masa depan yang cerah di depan sana. heuheuheu. Aku mengambil sedikit dari kata-kata mbah Sujiwo Tedjo, "menghina Tuhan bukan berarti menginjak-injak kitab sucinya, besok khawatir tidak makan saja, kamu sudah menghina Tuhan". Dari kata-kata Presiden Jancukers tersebut ada benarnya juga. Aku lebih meyakini besok masih ada hari yang baik buat hidupku. Namun juga dengan prinsip, hari ini harus bekerja lebih baik dari kemarin, dan esok harus juga bekerja lebih baik dari hari ini.
Entah mengapa aku menganggap akhir-akhir ini banyak orang yang bingung dengan hidupnya sendiri. Bahkan karena bingung dengan hidupnya sendiri, mereka lebih senang dengan berkomentar miring atau dengan kata lain "nyinyir" dengan hidup orang lain. Berkomentar miring di media sosial (instagram, twitter dll). Bahkan di media-media berita nasional pun "masyarakat" kita senang dengan komentar-komentar miringnya. Apalagi jika beritanya tentang gosip-gosip "nasional". Mungkin resolusi mereka di tahun 2019 ini adalah lebih "nyiniyir" dibandingkan tahun kemarin (2018).
Di 2019 ini adalah tahun-tahun politik. Dimana yang aku rasa, iklimnya tidak baik. Maksud aku tidak lebih baik dari tahun pemilu di tahun-tahun sebelum ini. Masyarakat kita lebih kepada saling menjelekkan diantara satu dengan yang lain. Dan lebih megarah ke isu-isu SARA. Dan setiap hari debat tiada hentinya. Dan beginilah kira-kira percakapan terebut. (A = orang pertama, B = orang kedua). Dan kira-kira mereka berdua tersebut merupakan teman yang sangat baik.
A : He kon ngerti a mene iki onok debat capres ? (He kamu tau gag besok ada debat capres ?)
B : Nang ndi ? Disiarno ta ? (Dimana ?Apa disiarkan ?)
A : Iyo. TV kabeh podo nyiarno. (Iya. Semua TV menyiarkan.)
B : Oalah. Tapi jare wong-wong debat iku gag asik. (Oalah. Tapi kata orang-orang debta itu gag asik).
A : Kok isok ? (Kok bisa ?)
B : Lha iyo. Mosok arepe debat onok kisi-kisi e ? (Lha iya. Masak mau debat ada kisi-kisinya ?)
A : Heleh. Iku sih sing jaluk kubu capres Y. (Halah. itu yang minta kubu capres Y)
B : Bukan e sing jaluk kisi-kisi iku kubu capres X ? (Bukannya yang meminta kisi-kisi itu kubu capres X ?
A : Oralah. Mesti sing gawe acara ngono iku kubu capres Y. (Enggaklah. Pasti yang membuat acara seperti itu kubu capres Y).
B : Tapi sing penting capres Y mesti nepati janji. (Tapi yang penting capres Y pasti menepati janji.)
A : Iyo janji nang kaum mayoritas. Politik kok gowo-gowo agama. Sitik-sitik demo berjilid. (Iya, janji ke kaum mayoritas. Politik kok bawa-bawa agama. Sedikit-sedikit demo berjilid.).
........Dan akhirnya mereka tak berteman lagi.
Setidaknya sekarang hidup semakin susah dari sebelumnya. Bukan hanya karena harga-harga semakin mahal, tapi suhu politik yang juga memanas juga. Kita yang hanya merupakan masyrakat sosial kelas menengah kebawah pun ikut terdampak hal tersebut. Sungguh yang awalnya berteman baik menjadi tidak berteman lagi cuma karena hal-hal kecil, yaitu mengenai perbedaan pandangan atau pilihan dalam politik. Sungguh ironis. Tak hanya itu saja, orang-orang yang netralpun, yang tak ikut-ikut dalam hal pilihan atau pandangan politikpun ikut terdampak. Seperti halnya seperti aku ini, yang sejatinya netral dalam hal berpandangan politik. Banyak yang bilang bahwa orang yang netral itu orang yang tidak punya pendirian. Orang yang plin-plan. Dan banyak lagi hal yang lain. Padahal, menurutku, sebagai masayrakat demokrasi yang baik, boleh-boleh saja berpandangan politik, namun harus tetap berpikir logis dan kritis terhadap apapun. Misal tetap kritis terhadap apa pilihan atau pandangan politiknya. Ah entahlah. Indonesiaku semoga engkau cepat dewasa.
Seenggaknya aku bersyukur hidupku tanpa kisi-kisi. Dimana kisi-kisi yang dimaksud adalah, menghafal kisi-kisi yang sudah Tuhan berikan. Aku tidak mau hanya penghafal kisi-kisi, namun aku
lebih ingin sebagai pengamal kisi-kisi. Ya kisi
B : Bukan e sing jaluk kisi-kisi iku kubu capres X ? (Bukannya yang meminta kisi-kisi itu kubu capres X ?
A : Oralah. Mesti sing gawe acara ngono iku kubu capres Y. (Enggaklah. Pasti yang membuat acara seperti itu kubu capres Y).
B : Tapi sing penting capres Y mesti nepati janji. (Tapi yang penting capres Y pasti menepati janji.)
A : Iyo janji nang kaum mayoritas. Politik kok gowo-gowo agama. Sitik-sitik demo berjilid. (Iya, janji ke kaum mayoritas. Politik kok bawa-bawa agama. Sedikit-sedikit demo berjilid.).
........Dan akhirnya mereka tak berteman lagi.
![]() |
Sumber : images.google.com |
Seenggaknya aku bersyukur hidupku tanpa kisi-kisi. Dimana kisi-kisi yang dimaksud adalah, menghafal kisi-kisi yang sudah Tuhan berikan. Aku tidak mau hanya penghafal kisi-kisi, namun aku
lebih ingin sebagai pengamal kisi-kisi. Ya kisi
Komentar
Posting Komentar