“Hei,
anak si itu uda menikah lho, kamu kapan?”. Nah, kalimat itu sering didengar di
lingkungan sosial kita. Pertanyaan “kamu kapan?” itu sering dipertanyakan
seiring seseorang belum mencapai tingkatan yang sama dengan orang lain
disekitar. Dan menikah adalah salah satu dari semua pertanyaan “kamu kapan”
tersebut. Tidak enak, seakan orang lain menghakimi apa yang menjadi piihan
hidup seseorang. Padahal waktu seseorang tidak sama dengan seorang yang lain.
Dan tentang menikah dan belum menikah, sepertinya belum menikah adalah sebuah
minoritas. Sehingga seorang yang belum menikah adalah seseorang yang mengalami
kesepian pada sebuah keramaian.
Pada
lingkungan keluarga, seorang yang belum menikah akan selalu ditanya oleh sanak
saudaranya. Sehingga tercipta suasana tidak nyaman pada lingkungan keluarga. Di
lingkungan pertemanan, seorang yang belum menikah akan sulit menemukan teman
“ngopi”. Karena banyak teman yang sudah menikah, susah untuk diajak “ngopi”.
Dan ada perasaan “sungkan” untuk mengajak “ngopi”teman yang sudah menikah.
Karena perasaan sungkan itulah maka seseorang yang belum menikah merasa
kesepian (sepi dalam keramaian). Saat berkumpul, seseorang yang belum menikah
akan sulit menemukan bahasan obrolan. Karena pada saat itu obrolan
mereka-mereka akan berputar pada masalah keluarga, anak dan sebagainya. Maka
dari itu, seseorang yang belum menikah akan lebih nyaman berkumpul dengan
orang-orang yang belum menikah atau berkumpul dengan teman yang saat berkumpul
tidak hanya membahas mengenai persoalan keluarga dan atau anak.
Pada
intinya, sudah atau belum menikah itu pilihan. Jangan pernah menghakimi
mengenai pilihan seseorang. Waktu seseorang menikah tidak sama dengan seseorang
yang lain. Mungkin yang belum menikah, masih mengejar kebahagiaan yang lain. Jangan
pernah sok tau dengan kehidupan seseorang. Apalagi memberi saran dengan
embel-embel agama.
Sekian.
Mas e rung rabi yo? Iki gur takon lho ya 😸
BalasHapusrabine durung, kawine sing....
Hapus